Orang Muda dan Alternative Economy


Belum lama ini, dalam sebuah perjalanan dari Palu menuju Donggala, saya melewati sebuah lokasi yang pemandangannya semakin memprihatinkan: gunung-gunung botak yang dikeruk dan dibabat habis untuk kepentingan perusahaan tambang galian pasir. Pemandangan yang juga bisa kita saksikan beberapa saat sebelum landing ke bandara Mutiara Palu dari arah timur. Ada perasaan sedih, khawatir dengan kondisi perbukitan yang tanahnya terus dikeruk dan terus menjalar ke bagian gunung lainnya. Belum lagi debu debu tebal kini menjadi keseharian warga yang tinggal disekitar tambang. Kembali terbesit harapan, cita-cita kedepan agar pertumbuhan ekonomi di kota ini tidak lagi bertumpu pada industri industri ekstraktif, dan mulai beralih ke skenario ekonomi baru yang lebih ramah sosial dan lingkungan.


Optimisme tentang skenario ekonomi baru ini semakin bertambah, terlebih setelah pulang dari rangkaian perjalanan ke dua Kabupaten yang namanya mungkin agak jarang didengar: Siak di pulau Sumatera dan Sintang di Kalimantan. Perjalanan yang membuka mata saya bahwa skenario ekonomi alternatif dimana pertumbuhan ekonomi sejalan dengan kelestarian lingkungan itu sangat memungkinkan dan bukan sebuah utopia. Di Siak misalnya, saya bertemu dengan orang muda yang mengembangkan produk inovatif dari ikan gabus, ikan endemik yang ternyata punya peran penting untuk menjaga gambut tetap basah sehingga menurunkan resiko kebakaran hutan yang sering terjadi disana. Orang muda ini super keren karena memilih untuk kembali ke daerahnya, meskipun ditawari pekerjaan yang mungkin lebih bergengsi di Kota. Selain berinovasi dengan ikan gabus, mereka juga secara kolektif mengembangkan Siak sebuah wadah inkubator lokal untuk mengembangkan potensi UMKM dan ekowisata di daerahnya. Beberapa hari di Siak membuat saya merasa “ditampar”, menyadarkan saya tentang definisi mencintai tanah kelahiran. Saya benar-benar belajar banyak dari anak-anak muda super keren disini.



Banjir di Siak


Tempat budidaya ikan gabus




Tidak lama berselang dari perjalanan di Siak, saya kemudian melihat semangat yang sama juga ada Sintang, Kalimantan Barat. Di tengah maraknya kebakaran hutan dan banjir besar akibat pilihan pilihan ekonomi sebelumnya yang tidak ramah lingkungan, anak anak muda Sintang yang juga merasakan langsung dampaknya, juga mulai bergerak dengan existing talent and resources mereka masing-masing. Lewat sebuah wadah kolektif, mereka mulai memetakan mimpi untuk menjaga hutan adat, mengembangan UMKM lokal dan industri kreatif disana. 


 Anak Muda Sintang


Dua perjalanan ini, sekali lagi membuka mata dan menyadarkan kalau skenario ekonomi alternatif ini sangat mungkin untuk dilakukan. Rasanya konsep trade off between preserving environment and economic growth itu sudah usang, dan saat ini sudah ada proof of concept that prove dua hal ini bisa berjalan berbarengan. Melihat secara langsung praktik alternative economy yang mengedepankan solidaritas, kolektivitas, dan sustainability di daerah, membuat saya semakin optimis bahwa ini sangat mungkin bisa dijalankan di lebih banyak daerah di Indonesia. Selama anak-anak muda lokal ikut dilibatkan dan diberi ruang.



Skelas - ruang kolaborasi di Siak

Komentar

Postingan Populer