Ekonomi Solidaritas

Di semester 3 ini, ada salah satu courses yang cukup unik, bukan cuma karena kontennya yang agak berbeda dengan mayoritas topik mata kuliah lain, tapi juga karena personally materinya mengingatkan saya dengan masa-masa masih kuliah S1 dulu. Nama courses nya adalah “Social and Solidarity Economy”. Sebagai salah satu alumni di kampus koperasi, materi yang berkaitan dengan collective entrepreneurship, gotong royong dan reciprocity-based activities ini sudah sering diajarkan ke kami. Bahkan pernah juga terjun langsung dengan berbagai peran baik sebagai anggota, pengurus dan magang di sebuah koperasi sewaktu masih menjadi mahasiswa. Hanya saja, kali ini saya belajar koperasi dengan perspektif dari negara lain, dengan kondisi socio-economic yang berbeda di beberapa negara di Eropa. Konsep social economy atau solidarity economy kebanyakan lahir dari ketidakpuasan masyarakat dengan sistem ekonomi yang cenderung menguntungkan beberapa pihak saja, membuat sekelompok orang termarjinalkan dari sistem tersebut. Mereka kemudian membentuk organisasi-organisasi yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan baik perkara ekonomi maupun sosial yang tidak didapatkan dari hanya mengandalkan sistem dari incumbent regimes. Mungkin beberapa yang kita kenal sekarang seperti co-operatives, associations, non-governmental organizations (NGOs) dan organisasi sejenis yang sering dikelompokkan dalam ‘third sector economy’ ini lahir dengan semangat yang sama: to solve the current social problems/ social change among the people.


A homeless spotted on one of the main streets in Paris (source: personal image)

Salah satu professor dari kampus Universite de Paris yang kebetulan mengajar di courses ini pernah bilang, bahwa koperasi bisa menjadi salah satu kekuatan atau alternatif untuk menggantikan sistem kapitalisme yang usang, merusak lingkungan dan membuat ketimpangan sosial semakin lebar. Narasi bahwa koperasi dan informal sektor pada umumnya dapat menjadi alternatif kapitalisme ini didukung dari fakta saat krisis dan pandemi COVID-19 yang menyebabkan resesi ekonomi di beberapa negara, justru koperasi dan usaha sosial mampu bertahan ditengah ketidakpastian ekonomi. Belum lagi kalau membahas krisis keungan global tahun 2008 yang menunjukkan wajah kapitalisme yang cacat, sehingga perlu perlu dipikirkan dan direset kembali. Mungkin sudah saatnya kita meninjau kembali potensi collective activities, interaksi manusia dan nilai–nilai keadilan dalam transaksi ekonomi kita. Bukan hanya adil dalam segi cost and benefit yang didapat setiap pihak, tetapi juga adil untuk lingkungan dan bumi yang kita tempati saat ini. Konsep seperti social enterprise, Benefit Corporation (BCorp), future-fit companies perlu didukung, sebagai langkah awal dari mengubah mindset pelaku bisnis, policy makers dan masyarakat pada umumnya untuk mulai beralih ke model bisnis yang tidak membuat social inequality makin besar dan mengorbankan ecological system kita yang terbatas. I personally believe (meskipun juga bias karena sering berkecimpung di sektor ini), that everyone can do good for their local communities and environments, entah itu berkontribusi dengan menjadi relawan, mengembangkan social enterprises atau menjadi anggota koperasi yang aktif, sehingga membuat sistem ekonomi yang adil menjadi sebuah hal yang mainstream. Apalagi ditengah masalah krisis iklim dan ketimpangan sosial yang semakin melebar dimana-mana, harus ada narasi baru untuk yang bisa diterima semua kalangan, dan saya percaya bahwa koperasi, usaha sosial dan other impact-driven organizations bisa menjadi salah satu dari alternatif tersebut.

Komentar

Postingan Populer