Instellar’s Workshop Series (#2) – Design Thinking


Dalam #InstellarWorkshopSeries kali ini saya ingin mencoba membahas salah satu materi dalam workshop Instellar yang cukup menarik –yang telah berhasil mengubah pandangan saya dalam melihat masalah, baik itu dalam produk, aktivitas, proyek ataupun organisasi. Sebuah konsep yang dulu juga pernah saya dapatkan ketika masih bekerja di salah satu startup fintech, dimana waktu itu, mbak Alyssa, Manager Launchpad Accelerator nya Google, mengenalkan kami dengan Design Thinking, dengan satu challenge: bagaimana kita mendesain kembali lingkungan kerja di kantor Jurnal pada saat itu. Dari sesi ini saya kemudian semakin tertarik dengan tools yang telah digunakan oleh Google untuk membuat produk-produknya.

Dalam kurikulum workshop Instellar, konsep ini dikenalkan dalam workshop kedua, dengan judul lengkapnya –Design Thinking for The Greater Good –karena memang tujuannya adalah bagaimana membuat sebuah produk atau jasa yang tidak hanya menyelesaikan masalah customers tapi juga bisa relate dengan masalah sosial atau lingkungan yang ingin diatasi. Tantangannya dalam menyusun workshop buat teman-teman founders early stage social enterprise ini adalah, usaha mereka berasal dari sector, business model dan impact focus yang berbeda-beda. Dengan begitu tujuan workshop nya bukan untuk menyelesaikan satu specific challenge atau problem seperti yang kami lakukan di Jurnal dulu, tapi lebih untuk mengenalkan konsep atau framework dari elemen-elemen Design Thinking itu sendiri, agar bisa applicable di masing-masing social enterprises. Nah apa saja elemen-elemen yang ada dalam framework berpikir Design Thinking ?

Focus on the user

Elemen penting dan pertama dalam Design Thinking adalah berpikir bagaimana inovasi yang akan dibuat benar-benar fokus untuk menyelesaikan inti masalah dari user kita. Kalau istilah kerennya problem-solution fit. Konsep ini biasa digunakan dalam Human-Centered Design dan Design Sprint atau workshop yang menekankan pada customer-centricity. Intinya adalah bagaimana kita berlatih melihat dengan kacamata pihak lain, dalam hal ini user kita. 

Disinilah peran empathy cukup penting. Dalam proses menggali permasalahan ini kita bisa melakukan interview tatap muka dengan menangkap cerita, emosi dan insights dari jawaban lawan bicara kita, tanpa memotong pembicaraan dan terus mengelaborasi dengan menanyakan open questions dan always ask why, why, why. Dengan teknik interview yang benar, kita akan mampu menemukan key problems yang sebenarnya dihadapi oleh user kita nantinya.

Langkah kedua setelah empathize adalah mendesain sebuah challenge atau problem yang ingin diselesaikan dengan konsep “How Might We” where we frame a problem to find as much as ideas. Sampai saat ini kita jangan dulu langsung berpikir solusi karena tujuannya adalah proses menemukan solusi yang lebih rich dan komprehensif. Contoh framing how might we yang baik adalah yang tidak terlalu mengarah ke solusi dan tidak terlalu lebar juga. Misal:  How might we make unhealthy eating less convenient? Or How might we make the feeling of dieting desirable?

Think 10x

Setelah sebelumnya kita telah mendefinisikan sebuah masalah yang kita ingin selesaikan dalam tahapan empathize, selanjutnya adalah brainstormingIni adalah tahapan dimana kita akan menuliskan sebanyak mungkin solusi dengan brainstorming individual atau bersama tim. Kuncinya adalah fokus pada kuantitas daripada kualitas tanpa menjudge ide kita bagus atau tidaknya. Gunakan visualisasi dengan gambar, dan gunakan post-it untuk satu idea sebanyak mungkin. Salah satu konsep dalam brainstorming adalah berpikir 10 kali, maksudnya adalah berpikir diluar kotak atau asumsi dan bias kita serta penting untuk berpikir besar. Bahkan kita diminta untuk menuliskan ide-ide yang mungkin bagi orang lain terdengar ‘gila’. Bukankah terkadang produk-produk hebat justru lahir dari pemikiran mereka yang biasa kita anggap tidak masuk akal? Just beyond crazy, is fabulous!

Generate more ideas using post-it
Ide-ide solusi yang telah dibuat kemudian dikumpulkan lalu masing-masing tim memlihi ide mana yang menurut mereka menarik yang bisa menyelesaikan masalah yang ada. Voting ide terbanyak  lah yang akan diproses ke tahap selanjutnya: Prototype.

Be Prototype Driven

Nah, ini dia bagian yang paling saya suka, dimana kita akan bereksperimen sederhana untuk mewujudkan konsep ide yang sudah dipilih dengan membuat prototype nya. Prototype adalah versi awal dari sebuah ide untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memvalidasi asumsi asumsi yang ada. Secara umum, cara membuat prototype itu sendiri ada dua: 'fake it' or 'make it'. Contoh 'fake it' adalah misalnya ide kita adalah membuat sebuah ruangan kerja terbang dengan menggunakan balon udara, metode pertama yaitu 'fake it', misalnya kita menempatkan meja dan kursi kerja di sebuah rooftop di gedung tinggi, dengan ini kita akan bisa menjawab asumsi : apakah orang-orang menyukai kerja di tempat yang tinggi?

Contoh 'fake it'
Sementara cara kedua dengan 'make it' adalah membuat prototype dengan material sederhana, yang mudah didapat dan hanya sebagian saja, misal untuk membuat ruang kerja terbang tadi, cara 'make it' adalah kita mengikatkan balon-balon kecil dengan kursi dari karet (karena lebih mudah didapat) untuk menjawab pertanyaan misalnya berapa banyak helium yang dibutuhkan untuk mengangkat seseorang ke udara. Usahakan untuk bereksperimen dengan barang-barang sederhana yang mudah kita temukan. Get experimental and experiential.



Contoh make it
Tahap terakhir dalam Design Thinking adalah Test, dimana purwarupa atau prototype yang sudah kita buat kita coba ke beberapa targeted user (bisa juga ke orang yang kita interview sebelumnya) untuk meminta feed back mereka. What works and what not works? Dalam tahap ini kita menggunakan kembali konsep empathy (ingat konsep pertama: focus on human) dan mencatat paling tidak 4 hal: What worked, New Ideas, Changes, and New Questions). Biasanya tahap terkahir ini membutuhkan waktu cukup lama karena ada proses Iterasi dimana kita perlu melakukan improvement dari ide solusi yang kita buat. Tahap ini dalam dunia startup juga bisa disebut validasi atau validation phase.

Kurang lebih secara sederhana itulah proses Design Thinking yang juga dikenalkan di workshop Instellar untuk para social enterprises di Indonesia. Meskipun hanya dalam waktu 2 hari (karena idealnya workshop ini dilakukan minimal 4 hari untuk complex problem), harapannya produk ataupun jasa teman-teman social impact startups ini betul-betul bermanfaat bagi user ataupun beneficiaries-nya dan mampu bersaing dengan produk atau jasa dari commercial business. Kemampuan mendesain bukan lagi skill yang hanya boleh dimiliki seorang desainer fashion atau arsitek, tapi untuk kita semua yang ingin menyelesaikan suatu masalah kompleks namun tetap berfokus pada manusia.

#InstellarWorkshopSeries


Komentar

  1. Dapet pencerahan soal design thinking buat beresin skripsi, dan tau apa aja yang harus dilakukan step by step nya. Sukses terus bang! Semangat menebar manfaat :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer