My Hometown Now (2)

Tulisan kali ini sebenarnya bukan untuk melanjutkan tulisan tentang kampung halaman yang pernah saya tulis tahun 2013 silam. Hanya saja kebetulan topiknya sama: mencoba melihat kembali perubahan-perubahan apa saja yang kini membuat wajah kota Palu berbeda. Tentu saja kondisi kota ini sekarang sangat jauh berbeda, jauuuuh sekali bahkan. Setelah dilanda bencana Gempa dan Tsunami di bulan September lalu, pesisir pantai kota Palu terlihat ramai dengan bangunan-bangunan di sekitarnya. Sekarang? Tak berpenghuni, kalau malam suasananya horror dan mencekam. Bukan hanya pesisir, daerah tinggi seperti di Petobo dan Perumnas Balaroa juga tidak luput dari bencana bahkan fenomena likuifaksi yang terjadi disana benar-benar mengherankan banyak pihak karena kejadiannya yang tidak biasa dan diluar nalar manusia.

Palu sekarang(1)
Sebuah musibah yang sebenarnya bukan hanya menggemparkan warga asli Palu –karena baru pertama kali mengalami gempa sedahsyat itu –tapi juga peneliti-peneliti dunia ikut terheran dengan fenomena-fenomena yang terjadi di bumi Sulawesi Tengah. Sebuah musibah yang kemudian membuat nama kota ini dan juga kabupaten tetangga, Sigi dan Donggala dikenal luas.

Sedih?


Tidak perlu ditanya lagi. Awalnya saya sendiri tidak percaya bencana sebesar ini menimpa kota Palu. Terutama saat melihat langsung kondisi kota ini H+8 pasca bencana (yang juga dipenuhi drama untuk sampai kesini), hati rasanya tersayat-sayat bukan hanya karena melihat puing-puing rumah bekas tsunami di pesisir pantai teluk Palu, tapi juga hamparan lahan kosong dan tanaman jagung yang dibawahnya tertimbun rumah-rumah (yang besar kemungkinan juga beserta orang-orangnya) di daerah Petobo, Jono Oge dan Sibalaya Utara. Belum lagi kalau melihat daerah Perumnas Balaroa dimana rumah-rumah amblas turun ke tanah dan bertumpuk-tumpuk, yang memisahkan dua daerah.

Aneh sekali rasanya, melihat bentuk musibah yang sangat jarang dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Lebih aneh lagi ketika yang dampaknya tidak merata ke seluruh daerah, tapi hanya beberapa bagian-bagian kota saja. Subhanallah. Saya pribadi percaya dibalik penjelasan-penjelasan ilmiah terkait aktivitas sesar palu koro, semua ini pasti terkait faktor kesalahan manusia. Tapi saya juga sangat percaya dengan penjelasan diluar ilmiahnya.
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)
Masihkah kita meragukan campur tanganNya?


Palu sekarang (2)
Palu sekarang

Kalau membandingkan Palu yang dulu dan sekarang, salah satu yang paling mencolok adalah ketiadaan icon kota ini, Jembatan Kuning yang ikut hancur saat gempa terjadi. Akses Palu Timur dan Barat kini harus dilewati dari jalan yang lain. Jembatan yang menjadi kebanggaan, gemerlap lampunya dimalam hari kini tak ada lagi.

Kini kalau kita berkunjung ke daerah pesisir terutama setelah perumahan citra land di Tondo ke arah Parigi, kini yang terlihat adalah lepas pantai sejauh mata memandang. Kini tidak ada lagi minuman sarabba dan stick pisang di pinggir pantai taman ria, tidak ada lagi ina-ina (baca: ibu-ibupenjual jepa di pinggir pantai talise.

Berubah. Semua berubah. Termasuk orang-orangnya.


Salah satu perubahan positif menurut saya terkait manusianya adalah setiap menjelang waktu maghrib, banyak orang termasuk anak muda tak ragu meninggalkan aktifitas mereka dan langsung menuju ke masjid untuk berjama’ah. Ada trauma yang cukup membekas menjadi alasan yang menggerakkan hati untuk beribadah. Masya Allah.

A Big Lesson in 2018


Apa pembelajaran terbesar saya di tahun 2018?

Tahun 2018 memaksa saya belajar untuk melepaskan. Let it go. Ini tentang rumah, tentang tempat menyimpan kenangan kecil. Tempat dimana tumbuh besar. Tempat mengenal dunia pertama kali. Kini saat berkunjung kesana, hanya tersisa satu pohon mangrove yang berdiri gagah diantara puing-puing. Tapi saya sangat bersyukur. Sangat bersyukur karena Allah masih kasih kesempatan untuk memperbaiki diri, memperbanyak amal dan bertobat dari dosa-dosa yang masih menumpuk. Dibalik itu semua, ada satu hal yang membuat saya terharu: Allah pilih kota Palu dari sekian banyak kota di Indonesia sebagai pembelajaran untuk orang-orang beriman, bahwa manusia ini sungguh lemah dan kecil sekali di hadapanNya. Allahuakbar.

Kita jadi sadar bahwa harta dunia hanyalah sementara dan tidak sepatutnya kita bersedih berlebihan karena kehilangan harta dunia yang sementara ini. Kehilangan dunia insha Allah akan Allah beri gantinya yang lebih baik lagi. Aaamiin allahumma aamiin.

Tentang pilihan

Bagian ini sebenarnya agak tidak nyambung, tapi coba disambung-sambungkan saja hahaha.

Jadi ceritanya saat ini ada beberapa pilihan yang membuat galau seorang Ayi (eciee) terutama setelah pulang ke rumah kemarin. Apakah ini pertanda saya sedang mengalami middle-age crisis?  Entahlah.

Balik lagi tapi, hidup itu kan memang pilihan. I currently explore the intersection in my life.  Bahwa banyak sekali pilihan - pilihan yang perlu dipertimbangkan, misalnya tetap lanjut berkarir di Jakarta yang mulai membuat nyaman atau memulai usaha di kampung halaman dan dekat dengan orang tua. Semua punya positif -negatif dan lengkap dengan konsekuensi masing-masing. Intinya harus siap dengan segala kemungkinan – kemungkinan yang bisa terjadi. Atau mungkin pilih melanjutkan mimpi untuk kuliah lagi? Atau nikah mungkin? Hahaha kenapa jadi curhat.

Baiklah.


Terlepas dari itu semua, the most important thing is to engage Allah in our plan, because what we think best for us is not always best for Allah.  

“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

 

Komentar

Postingan Populer