Benvenuto a Torino!

Pagi ini terasa berbeda, semalam rasanya waktu berjalan begitu lama, udara dingin yang tidak biasa seketika menyadarkan saya yang tengah melamun. Seperti masih dalam mimpi, pagi ini saya berada di Bandara Schiphol, Amsterdam, transit untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.


Kurang lebih 14 jam perjalanan udara dari Jakarta, saya disambut petugas yang mengecek dokumen perjalanan dan PCR tests. Suasana di Schiphol pagi ini cukup ramai, ditengah situasi pandemi, salah satu bandara internasional tersibuk di dunia ini tetap beroperasi. Ada beberapa coffee shop yang buka sepagi ini, niatan untuk membeli secangkir kopi terlintas, namun niat ini batal, saya teringat belum menukar Rupiah ke Euro ketika masih berada di Indonesia.


Beberapa menit berjalan, saya seperti berada di dunia asing, sangat asing. Perasaan aneh, ngantuk sekaligus excited melihat orang-orang yang berjalan bergegas, berbicara dengan bahasa yang tidak familiar di telinga, menyadarkan saya bahwa saya berada jauh dari kampung halaman. Pagi ini, dengan masih setengah percaya, saya menginjakkan kaki di benua eropa untuk pertama kalinya. Mimpi lama yang hampir saja dikubur, kini Allah realisasikan dan berikan kesempatan untuk menuntut ilmu di belahan bumi yang lain. I talked to myself, "welcome and be ready for new journey!"


A view from KLM (Amsterdam - Torino) in winter


Bicara soal mimpi yang satu ini, pertama kali terlintas untuk bisa lanjut studi ke salah satu negara di Eropa itu sudah ada sejak masih mahasiswa di semester 3 atau 4 di studi S1 dulu. Mendapatkan doktrin tentang perkoperasian bahwa best-case cooperatives itu ada di Eropa, keinginan untuk bisa belajar disana kemudian menjadi trigger bahwa I will continue my post-grad study there, someday. Padahal kalau dipikir-pikir waktu itu bahasa inggris saya masih sangat jauh dari standard, dan tidak ada pencapaian yang bisa diandalkan. Tapi, kalau mimpi saja tidak berani, mau jadi apa kedepannya?


Tidak berapa lama panggilan untuk boarding ke flight selanjutnya terdengar, beberapa jam kedepan penerbangan dengan KLM membawa saya menuju selatan Eropa, tepatnya di kota Turin, Italia. Kota yang menjadi persinggahan pertama saya untuk studi beberapa bulan kedepan.


Suasana kampus Luigi Einaudi, University of Turin di pagi hari


Sepintas terlihat dari atas kota ini tidak begitu besar dan terkesan magis dengan model bangunan tempo dulu. Ketika tiba di Torino Caselle Airport, seperti biasa petugas meminta dokumen seperti pasport, declaration form dan PCR test. Regulasi yang berlaku nasional di Italia saat itu mewajibkan semua penumpang penerbangan internasional untuk karantina 14 hari dan melaporkan kepada petugas setempat dimana tempat yang akan kita tempati untuk isolasi mandiri tersebut. Sedihnya, mereka menjelaskan semuanya dengan bahasa Italia dan mereka terlihat kurang bisa menjelaskan dengan bahasa Inggris. Lesson learned: sangat penting untuk menguasai bahasa lokal negara yang akan dikunjungi. Dengan level Italian language yang sangat terbatas, saya cukup kaget dan kelabakan ketika pertama kali tiba.


Setelah urusan dengan petugas bandara selesai, karena kami tidak diperbolehkan untuk menggunakan kendaraan umum, saya bersama seorang teman (kami baru saja berkenalan sejak di Schiphol) memesan sebuah taxi dan membawa kami menuju penginapan kami masing-masing. Bandara Caselle berjarak kurang lebih 20 menit dari pusat kota Turin, dan sepanjang perjalanan, there were many questions popped up in my mind: how is gonna be my life for next months? am I will be survived? Will I could handle myself with this LDM status with my wife?


Alhamdulillah, so far I am adapting to these circumstances. I convinced myself that you'll be passing this episode with new learnings, experience, knowledge, and friends which will be useful for you and people in the future, Insha Allah.


Benvenuto a Torino!


#livelife

#onthenext


Taman di halaman belakang penginapan di sore hari



 

Komentar

Postingan Populer