Exploring the Intersection


Galau, sedih, cemas yang datang tanpa diundang, dan beberapa symptoms lain yang kadang datang menghantui diri, di tengah malam yang sunyi, bertarung dengan pikiran sendiri. Some people called this a ‘Quarter Life Crisis’, yang sudah sering kita dengar, yang telah menjadi momok bagi mereka umur 20an.  

I’ve routinely mentioned some years ago, even until now, still struggling with this quarter life crisis, tentang kemungkinan dari pilihan-pilihan yang ada. Should I continue to study post-graduate first? Or simply continue with my daily routine as an employee? Atau buka bisnis? Bagaimana dengan menikah? Atau begini, atau begitu…

I realize (alhamdulillah), given all those options available for me, dan fakta bahwa tidak semua orang punya pilihan-pilihan untuk hidupnya, I feel very grateful, sangat-sangat beryukur. Cukup butuh waktu untuk berpikir lebih jernih, keluar dari rutinitas yang ada, simply taking a mindfulness step to (hopefully) overcome it. However, it's quite challenging now to have a time to think clearly. Apalagi bagi orang yang terjebak dengan kenyamanan rutinitas dan hidup dengan distraksi dimana-mana. Perlu sedikit ‘paksaan’ untuk bisa menemukan waktu yang pas untuk bisa punya contemplating time. Seperti kata Prof. Cal Newport dalam buku barunya Digital Minimalism, bahwa kekuatan menjaga fokus menjadi penting di zaman digital dimana begitu banyak hal yang menarik perhatian, sementara attention span kita begitu terbatas.


Anyway, kenapa kontemplasi atau muhasabah itu penting? Simply for me, it’s difficult to decide a goal without knowing where our position currently. Dan itu juga bisa salah posisi kalau kita tidak deliberately menyediakan waktu to ask ‘deep questions’ for our life.

A fact that worth to remember
When I recently contemplating on my life journey, ketika hidup terasa mulai hambar dengan aktivitas begitu-begitu saja di tengah ramainya Jakarta, belum lagi peer pressure cukup tinggi (sudah sering curhat seperti in di tulisan sebelumnya), ketakutan-ketakutan akan menghabiskan waktu dengan sia-sia, saya menemukan satu fakta –yang mungkin beberapa dari kita sudah sering dengar –bahwa kelak kita akan diinterograsi oleh Pencipta kita, Allah Jalla Jalaluhu dengan pertanyaan:

“Umurmu, untuk apa kau gunakan?”

The heart-breaking fact that worth to remember, when we wanted to plan our life purposefully. Menyadari fakta ini, sudah sepantasnya kita memastikan untuk menggunakan waktu kita yang berharga sebaik-baiknya, memilih aktivitas-aktivitas yang punya nilai ibadah di mata Allah, juga memprioritaskan waktu untuk menuntut ilmu agama.  

Again a #selfreminder: apakah selama ini waktuku lebih banyak habis di social media? Berjam-jam nonton Youtube? Nongkrong tanpa faedah? Hanya Allah sebaik-baik penolong.


Spending time in nature sometimes works to questions ourself

Pada akhirnya, bukan berarti kontemplasi atau terus bertanya ke diri sendiri kemudian menghalangi kita untuk berbuat or take action. Tetap lanjutkan ikhtiar. Tidak berbuat apa-apa juga adalah keputusan. Selama kita masih berusaha untuk berikhtiar menjadi lebih baik lagi, dengan mau menjadi seorang ‘fighter’ untuk mencari ilmu-Nya, dan berusaha untuk on the track, barulah nanti Allah tolong kita dengan caraNya. Insha Allah.  

Semoga Allah memberikan taufikNya untuk kita semua.

#LiveLife

Komentar

Postingan Populer