Kacamata Baru


This post is dedicated for myself as a reminder and reflection for me in the next future. What I learned from in a ‘class’ every Saturday at Blok M Square mosque. I (insha Allah) will be written this kind of topic on hashtag #UstNuzulDzikriSeries yang semoga saja bisa bermanfaat paling tidak buat diri sendiri ketika nanti membaca lagi. I really understand sebenarnya untuk bicara soal agama, tidak semua orang boleh bicara, hanya ahli ilmu yang berkapasitas yang sudah ‘khatam’ banyak kitab dan paham khilaf dalam masalah yang sedang dibicarakan tersebut. That’s why in this series, I only will recap and paraphrase the key takeaways that might be applied in our daily life –without adding my (obviously) limited knowledge.


The first topic on this series will be about changing my ‘glasses’. Ini bukan berarti ganti kacamata minus yang memang sehari-hari saya gunakan, but it’s more than that. It’s about changing my perspective on how I see life and the world dan segala isinya. Kita tahu bersama bahwa biasanya perspektif seseorang dalam melihat dunia akan terus berubah seiring pengalaman dan knowledge yang didapat dalam hidup. It is, apparently, related with me as my perspective (significantly) shifted when I learned more about my deen (read: religion). Why and how it happened? I would like to thanks to guru kami, Ustadz Nuzul hafizhahullahu ta’ala through his kind speech and selected diction from his session at the Tadzkiratussaami ‘class’ yang benar-benar membuka mata yang selama ini tertutup dan tertipu dunia.

So, it’s all about changing perspective from kacamata dunia (short-term) ke kacamata akhirat (long term).

Proses perubahan ‘kacamata’ seseorang dalam melihat segala sesuatu hal itu memang tidak terjadi dalam semalam. Butuh waktu dan proses yang cukup lama agar bisa ‘mengena’ dan menancap ke dalam diri seseorang. For me personally, it takes almost one year to finally realize that selama ini saya terlalu melihat segala sesuatu dari sudut pandang dunia yang sementara, juga mudah terpukau dengan dhohir (baca: cover) seseorang. Contohnya misalnya, jika kita bicara tentang rezeki:betapa banyak orang kaya secara materi, bisa beli apapun namun ia tidak bisa menikmati karena punya banyak pantangan dalam hal makanan. Just because a person has many possessions it doesn’t mean he will happy atau bahagia dengan hidupnya. Atau hal lain misalnya, seseorang dengan gaji ratusan juta perbulan namun dengan pekerjaan riba belum tentu lebih ‘kaya’ atau lebih banyak rezekinya dibanding seseorang yang gajinya ‘hanya’ 3 juta tapi dengan pekerjaan yang halal.

Hal-hal yang terlihat indah dipermukaan belum tentu baik secara hakikatnya. Kita mungkin bertanya kenapa seseorang (sebut saja si Fulan, misalnya) diberikan rezeki yang lebih dari Allah, padahal si Fulan sehari-harinya tidak taat dengan perintahNya tapi kok terlihat happy dengan hidupnya bahkan punya segalanya. Bagi orang yang sudah belajar, tentu ia tidak akan mudah mengambil kesimpulan bahwa hidup si Fulan di ridhoi Allah. Bisa saja Allah kasih rezeki yang banyak tapi belum tentu Allah ridho dengan hidupnya. Bisa saja si Fulan terkena ‘istidraj’ dimana hukuman Allah ditunda dan diulur sampai waktu yang ditentukan. Naudzubillah. Namun, bagi orang awam yang belum paham, akan hanya melihat dari luar saja dan apa yang tampak, tanpa melihat hakikat dan yang tidak tampak.

Contoh lain misalnya, seseorang yang sedang dalam kondisi sakit, pernahkah kita berpikir bahwa Allah memberikan penyakit untuk menghapus kesalahan-kesalahan kita seperti api yang membakar karat pada besi? Kalau kita berpikir seperti ini atau melihat dengan kacamata ini tentu hati kita jauh lebih tenang karena kita tahu janji Allah itu tidak pernah meleset.

Inilah kenapa Ilmu untuk melihat hakikat ini penting. Ilmu akan membuat jarak pandang kita lebih jauh. Semakin jarak pandang kita pendek dalam melihat hal, semakin galau kita dalam hidup. Sebagai contoh lain dalam hal memandang hakikat –yang juga saya sendiri terus berusaha punya point of view dari sisi ini—adalah misalnya tentang hakikat keberkahan waktu. Banyak dari kita yang ingin selalu terlihat sibuk secara aktivitas: berangkat kerja sebelum terbit matahari dan pulang setelah terbenam matahari. Tapi kita tidak sadar, dengan aktivitas kita ini sejauh mana membawa manfaat baik untuk dunia dan akhirat kita. Apakah kerjaan kita itu makin mendekatkan kita dengan Allah atau semakin membuat kita jauh dariNya? Seberapa banyak ilmu baru yang kita dapatkan dalam seminggu yang bermanfaat? Karena belum tentu banyaknya ilmu yang kita dapatkan secara konten –yang memang di zaman sekarang begitu mudahnya mencari konten –menjamin keberkahan dalam ilmu tersebut. Allah bisa saja kasih kita konten ilmu tapi tidak dengan keberkahan. Bisa saja ilmu itu tidak bermanfaat bagi kita atau misalnya justru membawa kita semakin jauh dan tersesat dari jalan Allah. Naudzubillah.

Karena keberkahan itu tergantung dari seberapa jujur kita sama Allah. Kalau kita jujur, Allah akan mudahkan cita-cita kita. Insha Allah. Semoga Allah yang maha Rahman memberi hidayah taufik kepada kita untuk bisa menuntut ilmu dan mengamalkannya, dan mendapatkan keberkahan dari Nya. Aaamin allahumma aamiin.


*sorry for my campur2 English :p

#UstNuzulDzikriSeries


Komentar

Postingan Populer